2. Diagnosis Sekunder.
Dalam buku Volume 2 ICD 10 tentang manual instruksi, disebutkan bahwa ‘other condition’ atau diagnosis lain (selain diagnosis utama) adalah kondisi yang coexist atau berkembang selama (dalam) episode pelayanan kesehatan, dan mempengaruhi manajemen pasien. Kondisi-kondisi yang terkait episode sebelumnya yang tidak membawa dampak terhadap episode saat ini seharusnya tidak dicatat (di-kode) [1]. Jadi dalam hal ini diagnosis lain dapat berupa kondisi yang coexist (ada bersamaan dengan diagnosis utama) atau keadaan yang baru muncul dan berkembang pada saat pasien dalam perawatan di fasilitas kesehatan, dan keberadaannya memberikan pengaruh terhadap manajemen diagnosis utama pada pasien. Adapun kondisi-kondisi lain yang terkait episode sebelumnya, atau riwayat-riwayat penyakit pada episode perawatan/pemeriksaan sebelumnya, yang sekiranya tidak akan mempengaruhi (tidak berdampak terhadap) manajemen diagnosis utama pada episode ini, tidak perlu dicatat atau dikode.
Sebagaimana diketahui, bahwa ICD-10 pada awalnya memang disusun untuk
tujuan statistik, maka definisi other
condition atau diagnosis lain hanya sebatas keterangan tersebut. Adapun
untuk tujuan reimbursement, diagnosis
lain yang menyertai diagnosis utama ini dalam case-mix system disebut sebagai diagnosis sekunder, dengan
pengelompokan sebagai berikut, sebagaimana tercantum dalam buku Clinical Casemix Handbook [2] :
a. Komorbiditas adalah suatu kondisi yang sudah ada (coexist) pada saat admisi, yang mempengaruhi perawatan
terhadap pasien, karena membutuhkan tambahan ; prosedur diagnostik, therapeutic
treatment, atau akan meningkatkan
monitoring ataupun clinical care.
b. Komplikasi adalah kondisi yang
tidak ditemukan saat pasien admisi (masuk dirawat inap), yang kemudian muncul selama pasien dalam perawatan,
atau merupakan akibat dari suatu prosedur atau pengobatan selama dirawat.
Misalnya; embolisme, efek samping obat, ISK, infeksi post-operatif,
dll.
Komorbiditas
dan komplikasi (CC) merupakan diagnosis tambahan yang secara signifikan dapat
menimbulkan konsumsi sumber daya yang lebih besar dalam suatu episode rawat
inap pasien, sehingga berdampak terhadap PCCL (Patient Care Complexity Level) atau dalam INA CBGs disebut sebagai Level of Severity. PCCL ini menjadi
tolok ukur efek kumulatif yang ditimbulkan oleh CC. Keberadaan salah satu dari
CC tersebut umumnya akan menyebabkan perpanjangan atau penambahan LOS. Inklusi dan eksklusi dari CC memiliki dampak yang dramatis terhadap
penentuan DRG, dan oleh karena itu provider berhak atas remunerasi yang sesuai
dengan sumber daya yang telah dikeluarkan, khususnya berdasarkan activity-based funding framework.
Adapun dalam Permenkes 27 th 2014 tentang INA CBGs disebutkan bahwa
komorbiditas adalah penyakit yang menyertai diagnosis utama atau kondisi pasien
saat masuk dan membutuhkan pelayanan/asuhan khusus setelah masuk dan selama
dirawat. Sedangkan komplikasi adalah penyakit yang timbul dalam masa pengobatan
dan memerlukan pelayanan tambahan sewaktu episode pelayanan, baik yang
disebabkan oleh kondisi yang ada atau muncul akibat dari pelayanan yang diberikan
kepada pasien [3].
Maka untuk diagnosis sekunder, ada beberapa hal yang perlu dipahami yaitu :
a. Diagnosis sekunder adalah komorbiditas atau
komplikasi
b. Komorbiditas adalah diagnosis yang menyertai
(coexist) diagnosis utama saat masuk
dirawat (admisi), dan membutuhkan pengelolaan khusus / tambahan di luar
manajemen diagnosis utama.
c. Komplikasi adalah diagnosis yang baru muncul
setelah pasien dirawat di fasilitas kesehatan (faskes), yang dapat disebabkan
oleh penyakit (komplikasi diagnosis itu sendiri) maupun akibat pelayanan atau
pemeriksaan yang dilakukan oleh faskes, dan membutuhkan pelayanan tambahan.
d. Kondisi-kondisi riwayat pada episode
sebelumnya, yang sekiranya tidak membawa dampak/pengaruh terhadap pengelolaan
diagnosis utama saat (episode) kali ini, tidak perlu dimasukkan dalam koding.
e. Keberadaan Komorbiditas dan Komplikasi (CC)
sangat berdampak terhadap penentuan grouping DRG, karena akan menambahkan biaya
atas tambahan sumber daya yang telah dikeluarkan.
Berikut terdapat beberapa contoh menarik tentang penulisan diagnosis sekunder : *
(1) Seorang
pasien Tn M masuk rawat inap karena mengalami dermatitis kontak yang cukup serius,
dengan lesi yang basah dan ulceratif. Dokter memutuskan untuk dirawat inap
untuk perawatan luka secara higienis dan memudahkan pasien agar tidak
bolak-balik kontrol karena domisili yang jauh. Setelah masuk bangsal, salah
seorang perawat senior di RS memberitahukan kepada dokter, bahwa pasien
tersebut memang pengunjung setia RS, karena rajin kontrol untuk penyakit kronik
yang dideritanya dan bahkan pernah dirawat inap beberapa kali sebelumnya, ada
yang karena Hipertensi dan Gagal Jantung, dengan Tuberkulosis Paru, dan Prostat
Hipertrofi. Pasien dirawat selama 3
(tiga) hari dan pulang dalam keadaan sembuh.
Dokter menuliskan dalam dokumen RM :
Diagnosis Utama : Dermatitis Kontak Iritan
Diagnosis Sekunder (1) : Hipertensi dengan Congestive Heart Failure
Diagnosis Sekunder (2) : Tuberculosis Paru
Diagnosis Sekunder (3) : Benign Prostate Hypertrophy
Benarkah penulisan diagnosis tersebut ?
Dokter menuliskan dalam dokumen RM :
Diagnosis Utama : Dermatitis Kontak Iritan
Diagnosis Sekunder (1) : Hipertensi dengan Congestive Heart Failure
Diagnosis Sekunder (2) : Tuberculosis Paru
Diagnosis Sekunder (3) : Benign Prostate Hypertrophy
Benarkah penulisan diagnosis tersebut ?
(2) Seorang
pasien Ny R masuk rawat inap dengan diagnosis Sinusitis Akut. Hasil pemeriksaan
kultur menunjukkan kuman penyebabnya adalah Streptococcus sp. Pasien dirawat
selama 3 hari dan pulang dalam keadaan sembuh. Bagaimana penulisan diagnosisnya ?
(3) Seorang
pasien Ny S masuk dirawat inap dengan diagnosis Diabetes mellitus dengan neuropati
diabetik. Dalam perjalanan rawat inap ditemukan adanya ascites. Dokter
melakukan serangkaian pemeriksaan untuk menentukan sebab ascites, namun belum
tegak diagnosisnya pasien sudah minta pulang paksa karena merasa nyeri-nyeri
akibat neuropati diabetika nya telah membaik.
Bagaimana penulisan diagnosis pada pasien tersebut ?
Pembahasannya ;
- Pasien Tn M dirawat untuk lesi pada kulitnya akibat Dermatitis Kontak Iritan. Dalam catatan dan resume tidak tampak adanya pengelolaan atau pemeriksaan intensif atau monitoring terhadap Hypertensive Heart Disease (HHD), Tuberculosis of Lung, maupun BPH nya, karena memang tidak terkait langsung ataupun mempengaruhi pegelolaan terhadap lesi nya. Pasien telah mendapatkan obat rutin untuk HHD maupun tuberkulosisnya. Dalam keadaan demikian, maka diagnosis utama yang tepat tentu adalah Dermatitis Kontak Iritan. Diagnosis sekunder ? tidak ada, karena dalam rekam medis tidak terdokumentasi adanya pengelolaan selain riwayat penyakit saja. Hal ini sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam ICD-10 WHO ; Kondisi-kondisi yang terkait episode sebelumnya yang tidak membawa dampak terhadap episode saat ini seharusnya tidak dicatat (di-kode) [1]. Maka pada pasien tersebut, diagnosis yang relevan dengan pengelolaan pada saat rawat inap adalah diagnosis utama Dermatitis Kontak Iritan. Adapun diagnosis sekunder yang disebutkan di atas, sebenarnya tidak mendapat pengelolaan apa-apa, hanya merupakan riwayat penyakit terdahulu yang pernah dikelola atau dirawat inap di faskes tersebut. Oleh karena itu, semestinya tidak perlu dikode sebagai diagnosis lain atau diagnosis sekunder. Sebagaimana kriterianya, diagnosis sekunder adalah diagnosis yang memerlukan sumber daya tambahan (diluar diagnosis utama).
- Pada pasien Ny R ini, terdapat satu kode diagnosis utama, yaitu Sinusitis Akut. Adapun agen infeksinya yang Streptococcus sp (unspecified) bukan merupakan diagnosis sekunder, meskipun dalam kaidah koding untuk keperluan statistik dan riset, pada penyakit infeksi dapat ditambahkan kode tambahan yang mengidentifikasi agen penyebab infeksi. Kenapa tidak bisa masuk sebagai diagnosis sekunder? Karena tidak menambahkan sumber daya terhadap pengelolaan sinusitis akutnya. Terkecuali jika ada perbedaan Pathway pengelolaan yang berdampak pada besaran sumber daya yang digunakan. Misalnya jika Sinusitis Akut yang disebabkan oleh Streptococcus berbeda protokol pengelolaannya dengan Sinusitis Akut akibat Klebsiella, misalnya. Maka mungkin memang diperlukan kode sekunder itu untuk mendifferensiasi Pathway maupun besaran resources yang dikeluarkan oleh faskes dalam pengelolaan sinusitisnya.
-
Dalam kasus ketiga ini, keberadaan ascites yang tidak lazim dijumpai pada pasien Diabetes mellitus akan menyebabkan pemeriksaan-pemeriksaan dan pengelolaan tambahan yang tidak tercakup dalam pathway neuropati diabetik. Oleh karena itu sepantasnya jika Ascites dimasukkan sebagai kode tambahan atau diagnosis sekunder, karena menimbulkan tambahan sumberdaya di luar pengelolaan diagnosis utamanya. Dan Ascites bukan merupakan bagian integral dari Diabetes mellitus.
Pola
penulisan diagnosis semacam ini mungkin kurang dikenal di Indonesia, karena
dalam pendidikan kedokteran, mahasiswa diajarkan untuk menemukan “masalah”
pasien. Baik yang subyektif maupun obyektif dan juga mencatat semua hasil
pemeriksaan yang abnormal, sehingga ada kecenderungan untuk bersifat exhaustive
dalam penulisan diagnosis, gejala, tanda, maupun fakta hasil pemeriksaan.
Sedangkan dalam panduan koding ICD-10 terdapat kriteria terkait diagnosis, baik utama maupun
diagnosis sekunder.
Sebagaimana disampaikan pada artikel sebelumnya (Baca Perbedaan Koding Untuk Statistik & Riset dengan Koding Untuk Reimbursement) kode
diagnosis dan prosedur yang ditetapkan haruslah menggambarkan atau
merepresentasikan dengan tepat perjalanan penyakit dan pengelolaan pasien pada
episode dirawat di faskes. Dan yang disebut diagnosis utama haruslah kondisi
yang diperiksa, atau dirawat di RS pada episode yang bersangkutan.
[1] World Health Organization (WHO). The International
Classification of Diseases and Health Related Problems – 10th Revision
(ICD-10). Volume 2 ; Manual Instruction. Sub-chapt 4.4 Morbidity. Geneve @
2010.
[2] Department Of Health. Performance Activity and
Quality Division. Clinical Casemix Handbook, version 2.0, 2011-2012. Government
of Western Australia : 2011
[3] ______, Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 27 tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis
Sistem Indonesian Case Base Groups (INA CBGs).
* asumsi data yang ada
sebatas yang diinformasikan dalam contoh ini. Dalam koding, perbedaan
kronologis kasus akan berdampak pada penentuan koding yang bisa berbeda pula.
0 komentar:
Posting Komentar