Kamis, 13 Oktober 2016

MENGAPA HARUS BELAJAR KODING KLINIS/MEDIS ?



Dengan diberlakukannya sistem Case-Mix berbasis Diagnosis Related Groups (DRG) dalam pembayaran kembali (reimbursement) biaya pelayanan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka koding diagnosis penyakit dan prosedur medis menjadi signifikan dalam penetapan kode diagnosis dan prosedur medis yang menjadi input dalam grouper INA CBGs. Keakurasian dan kelengkapan koding tersebut menentukan grouping INA CBGs dan besaran klaim yang akan dibayarkan untuk itu.
Dalam pedoman koding menurut WHO, salah satu kegiatan yang harus dilalui seorang koder adalah melakukan analisis terhadap lembar-lembar dokumen rekam medis untuk memastikan jumlah kode yang harus ditetapkan, dan spesifikasinya. Kode klinis yang dibuat harus merepresentasikan keseluruhan permasalahan dan pelayanan yang diberikan, serta menggambarkan proses interaksi antara pemberi layanan dan pasien. Kode diagnosis dan prosedur medis ditetapkan melalui rangkaian kegiatan tatacara koding yang benar dan menerapkan aturan dan pedoman koding yang berlaku.
Kesulitan yang sering terjadi dalam proses koding ini adalah karena pengetahuan, pemahaman yang tidak seragam antara koder, verifikator dan dokter. Dokter sebagai penulis diagnosis dan prosedur medis belum memahami proses dan kaidah koding, khususnya menyangkut standar dokumentasi klinis untuk reimbursement, yang terkadang berbeda dengan standar dokumentasi klinis untuk keperluan statistik atau riset. Sementara tenaga koder yang ada di RS terkadang juga masih kurang kualifikasinya, baik dari segi latar belakang pendidikan maupun pelatihan khusus terkait implementasi koding. Ditambah lagi verifikator yang juga masih kurang kompeten dalam melaksanakan verifikasi dokumentasi data klinis maupun kaidah koding, sehingga menimbulkan konflik atau friksi dan anarki terhadap tatanan koding yang seharusnya. Dan perbedaan kepentingan maupun kewenangan akhirnya mengabaikan kepentingan koding itu sendiri.
Faktor lain yang juga berperan adalah tentang regulasi terkait koding diagnosis maupun prosedur medis, yang karena atau untuk kepentingan aplikasi software yang digunakan dalam proses reimbursement harus mengalami penyesuaian-penyesuaian yang berbeda dari kaidah koding untuk keperluan statistik dan pelaporan untuk epidemiologi sebagaimana fungsi koding yang selama ini telah dilakukan di RS. Ada pula beberapa regulasi yang diberlakukan atas pertimbangan kebijakan politis atau pemangku kepentingan. Sementara regulasi dan pedoman yang sudah ada saat ini untuk implementasi koding dalam INA CBGs dirasakan kurang dari sisi teknis, banyak area abu-abu yang rentan misinterpretasi antara koder-verifikator-dokter. Akibatnya timbul konflik yang berujung pada klaim-klaim yang tertunda pembayarannya hingga diperoleh kebijakan atau kesepakatan (pending claims), atau bahkan tak terbayar kecuali ada penggantian data kode yang sesungguhnya tidak diinginkan oleh pihak RS.
Terbitnya Permenkes No 36 Tahun 2015 Tentang Pencegahan Fraud dalam Pelaksanaan Program JKN, juga merupakan tantangan tersendiri bagi RS dalam proses koding ini agar tetap bisa mendapat reimbursement yang sesuai namun sekaligus bebas dari potensi fraud. Sedangkan bagi verifikator BPJS pun bukan beban yang ringan dengan kompetensi yang terbatas dalam hal koding ataupun aspek klinis, harus juga menuntaskan reimbursement yang dianggap “layak” dengan kriteria yang kurang jelas. Dokter bahkan berada di posisi yang paling kebingungan, merasa terjepit antara kewenangan dari segi medis dan tuntutan pemberkasan untuk kepentingan klaim, yang menimbulkan frustasi tersendiri.
Demikianlah, mengingat sedemikian pentingnya implementasi koding INA CBGs bagi dalam kesinambungan program JKN, maka masing-masing pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung, dalam proses koding dan grouping perlu belajar lagi tentang koding untuk dapat meningkatkan kinerja pelayanan di masing-masing unit kerja.
           
            Selamat Belajar Koding .........



       
Share:

0 komentar:

Posting Komentar