Dengan diberlakukannya sistem Case-Mix berbasis Diagnosis Related Groups (DRG) dalam pembayaran kembali (reimbursement) biaya pelayanan kesehatan
di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), maka koding diagnosis penyakit dan
prosedur medis menjadi signifikan dalam penetapan kode diagnosis dan prosedur
medis yang menjadi input dalam grouper INA CBGs. Keakurasian dan kelengkapan
koding tersebut menentukan grouping INA CBGs dan besaran klaim yang akan
dibayarkan untuk itu.
Dalam pedoman koding menurut WHO,
salah satu kegiatan yang harus dilalui seorang koder adalah melakukan analisis
terhadap lembar-lembar dokumen rekam medis untuk memastikan jumlah kode yang
harus ditetapkan, dan spesifikasinya. Kode klinis yang dibuat harus
merepresentasikan keseluruhan permasalahan dan pelayanan yang diberikan, serta
menggambarkan proses interaksi antara pemberi layanan dan pasien. Kode diagnosis
dan prosedur medis ditetapkan melalui rangkaian kegiatan tatacara koding yang
benar dan menerapkan aturan dan pedoman koding yang berlaku.
Kesulitan yang sering terjadi dalam
proses koding ini adalah karena pengetahuan, pemahaman yang tidak seragam antara
koder, verifikator dan dokter. Dokter sebagai penulis diagnosis dan prosedur
medis belum memahami proses dan kaidah koding, khususnya menyangkut standar
dokumentasi klinis untuk reimbursement,
yang terkadang berbeda dengan standar dokumentasi klinis untuk keperluan
statistik atau riset. Sementara tenaga koder yang ada di RS terkadang juga
masih kurang kualifikasinya, baik dari segi latar belakang pendidikan maupun
pelatihan khusus terkait implementasi koding. Ditambah lagi verifikator yang
juga masih kurang kompeten dalam melaksanakan verifikasi dokumentasi data
klinis maupun kaidah koding, sehingga menimbulkan konflik atau friksi dan
anarki terhadap tatanan koding yang seharusnya. Dan perbedaan kepentingan
maupun kewenangan akhirnya mengabaikan kepentingan koding itu sendiri.
Faktor lain yang juga berperan adalah
tentang regulasi terkait koding diagnosis maupun prosedur medis, yang karena
atau untuk kepentingan aplikasi software yang digunakan dalam proses reimbursement harus mengalami
penyesuaian-penyesuaian yang berbeda dari kaidah koding untuk keperluan
statistik dan pelaporan untuk epidemiologi sebagaimana fungsi koding yang
selama ini telah dilakukan di RS. Ada pula beberapa regulasi yang diberlakukan
atas pertimbangan kebijakan politis atau pemangku kepentingan. Sementara
regulasi dan pedoman yang sudah ada saat ini untuk implementasi koding dalam
INA CBGs dirasakan kurang dari sisi teknis, banyak area abu-abu yang rentan
misinterpretasi antara koder-verifikator-dokter. Akibatnya timbul konflik yang
berujung pada klaim-klaim yang tertunda pembayarannya hingga diperoleh
kebijakan atau kesepakatan (pending
claims), atau bahkan tak terbayar kecuali ada penggantian data kode yang
sesungguhnya tidak diinginkan oleh pihak RS.
Terbitnya Permenkes No 36 Tahun 2015
Tentang Pencegahan Fraud dalam Pelaksanaan Program JKN, juga merupakan
tantangan tersendiri bagi RS dalam proses koding ini agar tetap bisa mendapat reimbursement yang sesuai namun
sekaligus bebas dari potensi fraud. Sedangkan bagi verifikator BPJS pun bukan
beban yang ringan dengan kompetensi yang terbatas dalam hal koding ataupun
aspek klinis, harus juga menuntaskan reimbursement
yang dianggap “layak” dengan kriteria yang kurang jelas. Dokter bahkan berada
di posisi yang paling kebingungan, merasa terjepit antara kewenangan dari segi
medis dan tuntutan pemberkasan untuk kepentingan klaim, yang menimbulkan
frustasi tersendiri.
Demikianlah, mengingat sedemikian
pentingnya implementasi koding INA CBGs bagi dalam kesinambungan program JKN,
maka masing-masing pihak yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung,
dalam proses koding dan grouping perlu belajar lagi tentang koding untuk dapat
meningkatkan kinerja pelayanan di masing-masing unit kerja.
0 komentar:
Posting Komentar