1. DIAGNOSIS UTAMA
Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, kelengkapan dan kompleksitas koding untuk keperluan statistik dan
riset, berbeda dengan keperluan reimbursement.
Dalam bukunya yang berjudul A
Guide to Coding Compliance, Becker mendefinisikan perbedaan antara coding dan billing adalah pada proses dan tujuan pembuatannya. The American Hospital Association (AHA)
mendefinisikan medical coding sebagai
suatu kegiatan menetapkan suatu kode terhadap diagnosis medis, prosedur dan
operasi, gejala dan tanda dari penyakit serta kondisi tak spesifik, keracunan
dan efek samping obat, serta komplikasi operasi maupun pengobatan. Adapun medical billing membutuhkan proses
transfer informasi yang dibutuhkan dari data yang telah terkode ke dalam klaim
untuk reimbursement.
Tidak semua
aspek berbeda antara koding untuk tujuan statistik dan billing. Ada beberapa
hal yang secara prinsip sama, namun ada implementasi yang berbeda. Berikut ini
adalah peran penulisan diagnosis dalam proses dan akurasi koding, baik untuk
keperluan statistik dan riset, maupun reimbursement.
Penulisan Diagnosis Utama.
Dalam ICD-10 dijelaskan pada pedoman koding morbiditas
bahwa kondisi (diagnosis) yang digunakan untuk single-condition morbidity analysis (prinsip morbiditas bahwa
diagnosis utama hanya satu) adalah kondisi utama yang dirawat atau diperiksa
sepanjang episode pelayanan kesehatan yang relevan.
Diagnosis utama didefinisikan sebagai kondisi, yang didiagnosis
pada akhir episode pelayanan kesehatan, yang terutama bertanggungjawab
menyebabkan pasien memerlukan perawatan atau pemeriksaan. Jika terdapat lebih
dari satu diagnosis, maka salah satu yang paling bertanggungjawab menimbulkan
pemanfaatan sumber daya terbesar yang harus dipilih sebagai diagnosis utama.Jika tak ada diagnosis yang ditegakkan, maka gejala (symptom) utama, temuan
abnormal (hasil pemeriksaan) atau masalah kesehatan dapat dipilih sebagai
diagnosis utama [1].
Dalam implementasi INA CBGs di Indonesia, dalam Permenkes
27 th 2014 definisi diagnosis utama adalah diagnosis akhir/final yang dipilih
dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan
sumber daya atau hari rawatan paling lama [2].
Hal
ini mengingat bahwa dalam sistem case-mix,
satuan Diagnosis Related Groups
(DRGs) menggambarkan kompleksitas kasus berdasarkan besaran sumber daya (resources) yang dikeluarkan oleh provider dalam memberikan pelayanan
kesehatan bagi penerima manfaat (pasien). Sehingga diagnosis utama tentunya
adalah diagnosis yang menghabiskan sumber daya terbesar atau hari rawatan
terlama, karena dianggap yang paling mempengaruhi besaran klaim yang harus
dibayarkan. Dan, meskipun tidak secara eksplisit tercantum dalam permenkes,
penulis memperoleh konfirmasi dari pencipta INA CBGs bahwa diagnosis yang
menghabiskan sumber daya terbanyak bukanlah atau tidak selalu merupakan yang
termahal atau tertinggi tarifnya.
Jika dilihat dari kriteria-kriteria diagnosis utama
tersebut di atas, tak ada yang berbeda dalam implementasi koding diagnosis
utama, antara keperluan statistik maupun reimbursement.
Dari keterangan tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat digarisbawahi
dalam penentuan diagnosis utama, yaitu ;
a. Diagnosis
utama adalah kondisi yang dirawat atau diperiksa sepanjang episode terkait.
b. Diagnosis
utama adalah kondisi yang menyebabkan pasien datang ke fasilitas kesehatan
untuk mendapatkan pelayanan (justifikasi mengapa pasien dirawat atau
diperiksa).
c. Diagnosis
ditentukan di akhir episode perawatan, setelah selesai semua pemeriksaan dan
perawatan.
d. Bila
terdapat lebih dari 1 diagnosis yang didapatkan pada pasien tersebut, maka
diagnosis utama adalah yang menghabiskan sumber daya terbesar. Dalam INA CBGs
ditambahkan kriteria yang LOS (Length Of
Stay) nya terlama, karena asumsinya terkait dengan sumber daya terbesar.
Dan menurut informasi dari narasumber iNA CBGs, yang dimaksud sumber daya
terbesar bukan berarti yang termahal/tertinggi tarifnya.
Beberapa
contoh kasus menarik dalam penulisan diagnosis utama ini adalah sbb:
(1) Ny R,
seorang penderita carcinoma cervix yang sudah biasa berobat rutin kemoterapi di
RS A. Suatu ketika, pasca dilakukan kemoterapi, pasien ini mendadak lemas,
pucat, mual dan muntah terus menerus sehingga keadaan umumnya memburuk, dan
keluarga membawanya ke sebuah RS terdekat, sebutlah sebagai RS D. Di RS D tersebut,
pasien mendapat terapi simptomatik berupa infus untuk penggantian cairan, obat
mual dan muntah. Setelah dua hari dirawat, pasien dalam keadaan membaik pulang
ke rumah. Pertanyaannya, apakah diagnosis utama bagi pasien tersebut saat
dirawat di RS D ?
(2) Seorang
pasien Tn J, 6 bulan yang lalu masuk dirawat di RS X karena mengalami fraktur
femur terbuka akibat tertabrak mobil dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Di RS X
telah dilakukan tindakan/operasi ORIF (Open
Reduction with Internal Fixation) dan pasien dirawat selama 2 minggu di RS
kemudian pulang dalam keadaan baik. Beberapa hari lalu pasien ini masuk dirawat
kembali ke RS X untuk dilakukan operasi pengangkatan pen (fiksasi internalnya).
Operasi berjalan dengan baik dan pasien boleh pulang 2 hari setelah operasi
dengan keadaan baik. Pertanyaannya, apakah diagnosis utama bagi pasien tersebut
saat dirawat di RS X pada episode kali ini ?
(3) Seorang
pasien Tn M, masuk dirawat inap dengan diagnosis Demam Typhoid. Setelah 3 hari
dirawat, ternyata dokter menemukan bahwa pasien tersebut terkena HCAP (health-care-associated pneumonia) dan
harus dirawat lebih lama (LOS nya bertambah 2 hari) karenanya. Maka manakah
diagnosis utama bagi pasien pada episode tersebut ?
Pembahasan
;
(1) Sebagaimana
yang digariskan dalam definisi diagnosis utama, maka diagnosis utama pada
pasien Ny R ini bisa jadi adalah perbaikan keadaan umum, atau bisa juga dokter
menuliskan diagnosis utama mual muntah akibat efek samping obat kemoterapi.
Karena, yang dirawat atau diperiksa pada episode tersebut di RS D adalah kondisi
yang berkaitan dengan penurunan keadaan umum (Z54.2) atau efek samping pasca
kemoterapinya (T45.1). Namun yang sering terjadi, umumnya dokter menuliskan masalah pasien sebagai
diagnosis utama. Karena pasiennya adalah penderita Ca, maka diagnosis utama
yang dituliskan adalah Ca Cervix-nya. Padahal saat itu di RS D pasien tidak
mendapatkan pengelolaan terhadap Ca-nya. Berbeda dengan saat pasien dirawat di RS B yang memang fokus
perawatan atau pengelolaannya ditujukan terhadap Ca-nya, misalnya kemoterapi. Maka
di RS B diagnosis utamanya mungkin adalah Ca Cervix (C53.9) atau Rutin
Kemoterapi (Z51.1). Hal
ini sesuai dengan kriteria diagnosis utama, yaitu merupakan kondisi yang
dirawat atau diperiksa selama episode terkait/yang relevan.
(2) Pada pasien Tn J tersebut, yang dilakukan
adalah pengangkatan internal fixation-nya,
maka terminologi yang lebih tepat untuk diagnosis pasien tersebut adalah removal of internal fixation (plate,
pins, screws, dll) dengan kode Z47.0, dan bukan di diagnosis sebagai fraktur
femur lagi (S72.9), karena sesungguhnya kondisi fraktur pada pasien tersebut
telah tertangani pada kunjungan/episode sebelumnya, dan saat ini datang untuk
kondisi lain, yaitu pengangkatan fiksasi internalnya. Seringkali dokter memberikan diagnosis fraktur pada pasien dengan
riwayat fraktur yang datang kembali ke RS, baik untuk kontrol luka dan ganti
balut, ataupun untuk mobilisasi (fisioterapi) atau untuk angkat implant/fiksasi
internal. Hal ini merupakan praktik yang tidak tepat menurut kaidah koding ICD-10.
Karena pasca ORIF dan pasien kontrol kembali ke RS masalah/keluhan utama pasien
bukanlah pada frakturnya lagi, melainkan untuk perawatan luka, atau pengangkatan
pen/implant nya. Dan untuk kondisi tersebut, tersedia kode Z yang dapat
digunakan pada ambulatory care atau limited care services di RS.
(3) Sebagaimana telah dijelaskan di atas, diagnosis utama merupakan alasan
pasien datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di faskes, dan menjadi
justifikasi mengapa dokter merawat inap, melakukan pemeriksaan maupun
pengobatan kepada pasien tersebut. Pada pasien Tn M ini, yang bersangkutan datang
untuk memeriksakan diri dan kemudian disarankan untuk dirawat inap oleh dokter
akibat penyakit Demam Typhoid yang dideritanya. Dan ternyata setelah 3 hari
dirawat muncul penyakit pneumonia, sehingga LOS bertambah.
Meskipun mungkin penetapan Pneumonia sebagai diagnosis utama akan
menghasilkan nilai klaim yang lebih tinggi, bukan berarti diagnosis utamanya
menjadi pneumonia karena resourcesnya
lebih banyak dan memiliki nilai klaim lebih tinggi. Melihat kronologis
kasusnya, fokus perawatan pada pasien ini adalah pada Demam Typhoidnya (A01.0).
Pneumonia baru muncul setelah pasien dirawat, sehingga sesuai definisinya, termasuk dalam
komplikasi perawatan, atau diagnosis sekunder. Ingatlah bahwa diagnosis utama
adalah yang paling banyak menghabiskan sumber daya atau hari rawatan paling
lama, dan tidak harus selalu yang termahal dari sisi besaran klaimnya.
Dalam
hal reimbursement, penulisan
diagnosis utama ini penting karena terkait dengan besaran sumber daya yang
dikeluarkan oleh RS, yang harus dibayarkan kembali oleh pihak pembayar/asuransi
(payer) kepada faskes pemberi
pelayanan (provider). Penetapan
diagnosis utama yang tidak sesuai dengan pelayanan/pengelolaan yang telah
diberikan akan menyebabkan ketidaksesuaian pembayaran kembali kasus tersebut.
Salah satu pihak akan dapat dirugikan. Oleh karena itu, penting untuk dapat
memahami apa yang dimaksud diagnosis utama, khususnya dalam hal pengajuan klaim
untuk reimbursement.
Adapun dalam rangka menunjang keperluan statistik dan riset, penetapan
kode diagnosis utama yang tepat adalah yang dapat menggambarkan perjalanan
penyakit dan pengelolaan yang telah diberikan kepada pasien ybs pada episode
rawat tersebut. Sebagaimana diketahui, dokumen rekam medis yang berisikan
rekaman perjalanan penyakit pasien dan seluruh dokumentasi pelayanan yang
diberikan oleh provider kepada pasien tidaklah abadi. Dalam jangka waktu
tertentu, dokumen rekam medis akan mengalami retensi, dan bahkan pemusnahan.
Jadi semua bukti dan dokumentasi pelayanan kemungkinan akan musnah, kecuali
beberapa lembar dokumen rekam medis yang akan diabadikan, salah satunya adalah
lembar RM 1 (Ringkasan Keluar-Masuk) di mana terdapat kode diagnosis dan
prosedur medis. Lembar ini diharapkan masih dapat memberikan informasi tentang
masalah/diagnosis penyakit pasien yang mendapat pengelolaan di RS pada episode
tersebut. Oleh karenanya maka kode diagnosis dan prosedur medis haruslah yang
mampu memberikan informasi tentang diagnosis yang menjadi fokus perawatan atau
pemeriksaan pasien di RS. Jika kode yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan perjalanan
penyakit dan pengelolaan yang diberikan, maka jika digunakan dalam
penelitian/riset akan menghasilkan informasi yang tidak tepat pula.
[1] World
Health Organization (WHO). The International Classification of Diseases and
Health Related Problems – 10th Revision (ICD-10). Volume 2 ; Manual
Instruction. Sub-chapt 4.4 Morbidity. Geneve @ 2010.
[2] ______, Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 27 tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base
Groups (INA CBGs).
0 komentar:
Posting Komentar