Jumat, 14 Oktober 2016

(BAGIAN 1) PERAN PENULISAN DIAGNOSIS DALAM KODING UNTUK REIMBURSEMENT



1. DIAGNOSIS UTAMA  

      Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kelengkapan dan kompleksitas koding untuk keperluan statistik dan riset, berbeda dengan keperluan reimbursement.  Dalam bukunya yang berjudul A Guide to Coding Compliance, Becker mendefinisikan perbedaan antara coding dan billing adalah pada proses dan tujuan pembuatannya. The American Hospital Association (AHA) mendefinisikan medical coding sebagai suatu kegiatan menetapkan suatu kode terhadap diagnosis medis, prosedur dan operasi, gejala dan tanda dari penyakit serta kondisi tak spesifik, keracunan dan efek samping obat, serta komplikasi operasi maupun pengobatan. Adapun medical billing membutuhkan proses transfer informasi yang dibutuhkan dari data yang telah terkode ke dalam klaim untuk reimbursement.
Tidak semua aspek berbeda antara koding untuk tujuan statistik dan billing. Ada beberapa hal yang secara prinsip sama, namun ada implementasi yang berbeda. Berikut ini adalah peran penulisan diagnosis dalam proses dan akurasi koding, baik untuk keperluan statistik dan riset, maupun reimbursement

Penulisan Diagnosis Utama.

Dalam ICD-10 dijelaskan pada pedoman koding morbiditas bahwa kondisi (diagnosis) yang digunakan untuk single-condition morbidity analysis (prinsip morbiditas bahwa diagnosis utama hanya satu) adalah kondisi utama yang dirawat atau diperiksa sepanjang episode pelayanan kesehatan yang relevan. 
Diagnosis utama didefinisikan sebagai kondisi, yang didiagnosis pada akhir episode pelayanan kesehatan, yang terutama bertanggungjawab menyebabkan pasien memerlukan perawatan atau pemeriksaan. Jika terdapat lebih dari satu diagnosis, maka salah satu yang paling bertanggungjawab menimbulkan pemanfaatan sumber daya terbesar yang harus dipilih sebagai diagnosis utama.Jika tak ada diagnosis yang ditegakkan, maka gejala (symptom) utama, temuan abnormal (hasil pemeriksaan) atau masalah kesehatan dapat dipilih sebagai diagnosis utama [1]. 


Dalam implementasi INA CBGs di Indonesia, dalam Permenkes 27 th 2014 definisi diagnosis utama adalah diagnosis akhir/final yang dipilih dokter pada hari terakhir perawatan dengan kriteria paling banyak menggunakan sumber daya atau hari rawatan paling lama [2].  


Hal ini mengingat bahwa dalam sistem case-mix, satuan Diagnosis Related Groups (DRGs) menggambarkan kompleksitas kasus berdasarkan besaran sumber daya (resources) yang dikeluarkan oleh provider dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi penerima manfaat (pasien). Sehingga diagnosis utama tentunya adalah diagnosis yang menghabiskan sumber daya terbesar atau hari rawatan terlama, karena dianggap yang paling mempengaruhi besaran klaim yang harus dibayarkan. Dan, meskipun tidak secara eksplisit tercantum dalam permenkes, penulis memperoleh konfirmasi dari pencipta INA CBGs bahwa diagnosis yang menghabiskan sumber daya terbanyak bukanlah atau tidak selalu merupakan yang termahal atau tertinggi tarifnya. 
 Jika dilihat dari kriteria-kriteria diagnosis utama tersebut di atas, tak ada yang berbeda dalam implementasi koding diagnosis utama, antara keperluan statistik maupun reimbursement. Dari keterangan tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat digarisbawahi dalam penentuan diagnosis utama, yaitu ;
a.  Diagnosis utama adalah kondisi yang dirawat atau diperiksa sepanjang episode terkait.
b.  Diagnosis utama adalah kondisi yang menyebabkan pasien datang ke fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan (justifikasi mengapa pasien dirawat atau diperiksa). 
c. Diagnosis ditentukan di akhir episode perawatan, setelah selesai semua pemeriksaan dan perawatan. 
d. Bila terdapat lebih dari 1 diagnosis yang didapatkan pada pasien tersebut, maka diagnosis utama adalah yang menghabiskan sumber daya terbesar. Dalam INA CBGs ditambahkan kriteria yang LOS (Length Of Stay) nya terlama, karena asumsinya terkait dengan sumber daya terbesar. Dan menurut informasi dari narasumber iNA CBGs, yang dimaksud sumber daya terbesar bukan berarti yang termahal/tertinggi tarifnya.  
Beberapa contoh kasus menarik dalam penulisan diagnosis utama ini adalah sbb:
(1) Ny R, seorang penderita carcinoma cervix yang sudah biasa berobat rutin kemoterapi di RS A. Suatu ketika, pasca dilakukan kemoterapi, pasien ini mendadak lemas, pucat, mual dan muntah terus menerus sehingga keadaan umumnya memburuk, dan keluarga membawanya ke sebuah RS terdekat, sebutlah sebagai RS D. Di RS D tersebut, pasien mendapat terapi simptomatik berupa infus untuk penggantian cairan, obat mual dan muntah. Setelah dua hari dirawat, pasien dalam keadaan membaik pulang ke rumah. Pertanyaannya, apakah diagnosis utama bagi pasien tersebut saat dirawat di RS D ?  
(2) Seorang pasien Tn J, 6 bulan yang lalu masuk dirawat di RS X karena mengalami fraktur femur terbuka akibat tertabrak mobil dalam suatu kecelakaan lalu lintas. Di RS X telah dilakukan tindakan/operasi ORIF (Open Reduction with Internal Fixation) dan pasien dirawat selama 2 minggu di RS kemudian pulang dalam keadaan baik. Beberapa hari lalu pasien ini masuk dirawat kembali ke RS X untuk dilakukan operasi pengangkatan pen (fiksasi internalnya). Operasi berjalan dengan baik dan pasien boleh pulang 2 hari setelah operasi dengan keadaan baik. Pertanyaannya, apakah diagnosis utama bagi pasien tersebut saat dirawat di RS X pada episode kali ini ? 
(3) Seorang pasien Tn M, masuk dirawat inap dengan diagnosis Demam Typhoid. Setelah 3 hari dirawat, ternyata dokter menemukan bahwa pasien tersebut terkena HCAP (health-care-associated pneumonia) dan harus dirawat lebih lama (LOS nya bertambah 2 hari) karenanya. Maka manakah diagnosis utama bagi pasien pada episode tersebut ? 

Pembahasan ;   
(1) Sebagaimana yang digariskan dalam definisi diagnosis utama, maka diagnosis utama pada pasien Ny R ini bisa jadi adalah perbaikan keadaan umum, atau bisa juga dokter menuliskan diagnosis utama mual muntah akibat efek samping obat kemoterapi. Karena, yang dirawat atau diperiksa pada episode tersebut di RS D adalah kondisi yang berkaitan dengan penurunan keadaan umum (Z54.2) atau efek samping pasca kemoterapinya (T45.1). Namun yang sering terjadi, umumnya dokter menuliskan masalah pasien sebagai diagnosis utama. Karena pasiennya adalah penderita Ca, maka diagnosis utama yang dituliskan adalah Ca Cervix-nya. Padahal saat itu di RS D pasien tidak mendapatkan pengelolaan terhadap Ca-nya. Berbeda dengan saat pasien dirawat di RS B yang memang fokus perawatan atau pengelolaannya ditujukan terhadap Ca-nya, misalnya kemoterapi. Maka di RS B diagnosis utamanya mungkin adalah Ca Cervix (C53.9) atau Rutin Kemoterapi (Z51.1). Hal ini sesuai dengan kriteria diagnosis utama, yaitu merupakan kondisi yang dirawat atau diperiksa selama episode terkait/yang relevan.  
(2) Pada pasien Tn J tersebut, yang dilakukan adalah pengangkatan internal fixation-nya, maka terminologi yang lebih tepat untuk diagnosis pasien tersebut adalah removal of internal fixation (plate, pins, screws, dll) dengan kode Z47.0, dan bukan di diagnosis sebagai fraktur femur lagi (S72.9), karena sesungguhnya kondisi fraktur pada pasien tersebut telah tertangani pada kunjungan/episode sebelumnya, dan saat ini datang untuk kondisi lain, yaitu pengangkatan fiksasi internalnya. Seringkali dokter memberikan diagnosis fraktur pada pasien dengan riwayat fraktur yang datang kembali ke RS, baik untuk kontrol luka dan ganti balut, ataupun untuk mobilisasi (fisioterapi) atau untuk angkat implant/fiksasi internal. Hal ini merupakan praktik yang tidak tepat menurut kaidah koding ICD-10. Karena pasca ORIF dan pasien kontrol kembali ke RS masalah/keluhan utama pasien bukanlah pada frakturnya lagi, melainkan untuk perawatan luka, atau pengangkatan pen/implant nya. Dan untuk kondisi tersebut, tersedia kode Z yang dapat digunakan pada ambulatory care atau limited care services di RS. 
(3) Sebagaimana telah dijelaskan di atas, diagnosis utama merupakan alasan pasien datang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di faskes, dan menjadi justifikasi mengapa dokter merawat inap, melakukan pemeriksaan maupun pengobatan kepada pasien tersebut. Pada pasien Tn M ini, yang bersangkutan datang untuk memeriksakan diri dan kemudian disarankan untuk dirawat inap oleh dokter akibat penyakit Demam Typhoid yang dideritanya. Dan ternyata setelah 3 hari dirawat muncul penyakit pneumonia, sehingga LOS bertambah. 
Meskipun mungkin penetapan Pneumonia sebagai diagnosis utama akan menghasilkan nilai klaim yang lebih tinggi, bukan berarti diagnosis utamanya menjadi pneumonia karena resourcesnya lebih banyak dan memiliki nilai klaim lebih tinggi. Melihat kronologis kasusnya, fokus perawatan pada pasien ini adalah pada Demam Typhoidnya (A01.0). Pneumonia baru muncul setelah pasien dirawat, sehingga sesuai definisinya, termasuk dalam komplikasi perawatan, atau diagnosis sekunder. Ingatlah bahwa diagnosis utama adalah yang paling banyak menghabiskan sumber daya atau hari rawatan paling lama, dan tidak harus selalu yang termahal dari sisi besaran klaimnya.

    Dalam hal reimbursement, penulisan diagnosis utama ini penting karena terkait dengan besaran sumber daya yang dikeluarkan oleh RS, yang harus dibayarkan kembali oleh pihak pembayar/asuransi (payer) kepada faskes pemberi pelayanan (provider). Penetapan diagnosis utama yang tidak sesuai dengan pelayanan/pengelolaan yang telah diberikan akan menyebabkan ketidaksesuaian pembayaran kembali kasus tersebut. Salah satu pihak akan dapat dirugikan. Oleh karena itu, penting untuk dapat memahami apa yang dimaksud diagnosis utama, khususnya dalam hal pengajuan klaim untuk reimbursement. 
    Adapun dalam rangka menunjang keperluan statistik dan riset, penetapan kode diagnosis utama yang tepat adalah yang dapat menggambarkan perjalanan penyakit dan pengelolaan yang telah diberikan kepada pasien ybs pada episode rawat tersebut. Sebagaimana diketahui, dokumen rekam medis yang berisikan rekaman perjalanan penyakit pasien dan seluruh dokumentasi pelayanan yang diberikan oleh provider kepada pasien tidaklah abadi. Dalam jangka waktu tertentu, dokumen rekam medis akan mengalami retensi, dan bahkan pemusnahan. Jadi semua bukti dan dokumentasi pelayanan kemungkinan akan musnah, kecuali beberapa lembar dokumen rekam medis yang akan diabadikan, salah satunya adalah lembar RM 1 (Ringkasan Keluar-Masuk) di mana terdapat kode diagnosis dan prosedur medis. Lembar ini diharapkan masih dapat memberikan informasi tentang masalah/diagnosis penyakit pasien yang mendapat pengelolaan di RS pada episode tersebut. Oleh karenanya maka kode diagnosis dan prosedur medis haruslah yang mampu memberikan informasi tentang diagnosis yang menjadi fokus perawatan atau pemeriksaan pasien di RS. Jika kode yang diberikan ternyata tidak sesuai dengan perjalanan penyakit dan pengelolaan yang diberikan, maka jika digunakan dalam penelitian/riset akan menghasilkan informasi yang tidak tepat pula.











[1] World Health Organization (WHO). The International Classification of Diseases and Health Related Problems – 10th Revision (ICD-10). Volume 2 ; Manual Instruction. Sub-chapt 4.4 Morbidity. Geneve @ 2010.


[2]  ______, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 27 tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Sistem Indonesian Case Base Groups (INA CBGs).
 



Share:

0 komentar:

Posting Komentar