Bagi koder di
Indonesia, khususnya bagi koder yang berlatar belakang pendidikan D3 Rekam
Medis dan Informasi Kesehatan, Koding Diagnosis Penyakit menggunakan ICD sudah
dikenal sejak lama. Di Indonesia, ICD
sudah digunakan sejak revisi ke-9 di tahun 1979. Kemudian setelah WHO
mempublikasikan ICD revisi ke-10 , maka bersama dengan dikeluarkannya Keputusan
Menteri Kesehatan RI No. 50/MENKES/SK/I/1998 tentang Pemberlakuan Klasifikasi
Statistik Internasional Mengenai Penyakit Revisi ke-Sepuluh tertanggal 13 Januari
1998, penggunaan sistem klasifikasi penyakit bergeser dari ICD-9 ke ICD-10,
hingga saat ini.
Sejak
implementasinya pada tahun 1998 lalu, hingga kini, ICD-10 digunakan sebagai
sistem klasifikasi penyakit untuk pelaporan data morbiditas baik intra fasilitas
pelayanan kesehatan, maupun untuk pelaporan eksternal seperti ke dinas
kesehatan. Laporan data morbiditas maupun mortalitas yang dibuat dengan sistem
klasifikasi penyakit ICD-10 ini umumnya digunakan untuk berbagai kepentingan,
diantaranya untuk gambaran dan komparasi data morbiditas intra dan antar
fasilitas pelayanan kesehatan, yang menjadi salah satu bahan pembuatan
kebijakan kesehatan. Selain itu data morbiditas menggunakan ICD ini juga
digunakan untuk evaluasi mutu pelayanan maupun untuk menunjang kepentingan
manajemen fasilitas pelayanan kesehatan. Hal ini sejalan dengan sejarah
perkembangan maupun tujuan penyusunan ICD-10 sebagai suatu sistem klasifikasi
penyakit.
Sebagai
kilas balik, mungkin perlu diketahui bahwa ICD mengalami evolusi yang cukup
panjang sejak disusun pertama kali. Sebagaimana diketahui dari sejarahnya, ICD
berawal dari suatu upaya untuk menyusun statistik vital sebab kematian. Pada
abad ke-tujuh belas, Kapten John Graunt dari London mulai mengarahkan perhatian
dunia terhadap statistik mortalitas melalui karyanya London Bills of
Mortality. Inilah upaya nyata pertama untuk mempelajari penyakit dari sudut
pandang statistik. Sekitar tahun 1837, William Farr seorang Registrar General
of England and Wales, berusaha untuk menghasilkan klasifikasi yang lebih baik
serta keseragaman (uniformity)
internasional dalam penggunaan statistik. Penyusunan secara umum dan prinsip
klasifikasi berdasarkan letak anatomis yang diusulkan Farr berhasil menjadi
basis penyusunan the International List of Causes of Death. Dan dasar
tersebut terus digunakan untuk vital statistik kita zaman sekarang.
Lembaga
Statistik Internasional pada pertemuan di Wina tahun 1891 menugaskan komite
yang dipimpin oleh Dr. Jacques Bertillon untuk
mengembangkan klasifikasi tentang sebab kematian, yang setelah mengalami
beberapa revisi, lebih dikenal sebagai the Bertillon Classification of
Causes of Death pada tahun 1893. Pada tahun 1898 American Public Health Association merekomendasikan Klasifikasi
Bertillon tersebut untuk digunakan oleh kantor-kantor pencatatan (registrar) di Kanada, Meksiko dan
Amerika Serikat, serta usulan agar klasifikasi tersebut direvisi setiap sepuluh
tahun sekali. Hasil revisinya, yang berjudul the International
Classification of Causes of Death, telah diselesaikan tahun 1900, 1920,
1929 dan 1938. Pada tahun 1948, dibawah pengawasan WHO, edisi ke-enam
diterbitkan dan, untuk pertamakalinya, mencakup daftar tabulasi untuk morbiditas
juga disamping mortalitas. Rumah Sakit-Rumah Sakit di seluruh dunia mulai
mencoba menggunakan sistem ini untuk klasifikasi penyakit.
Demikianlah
seterusnya, ICD terus diperbarui dan disempurnakan pada edisi-edisi revisi
selanjutnya. Konferensi internasional untuk revisi ke-Sembilan ICD
diselenggarakan oleh WHO di Genewa September-Oktober 1975. Tampak adanya
perkembangan yang sangat pesat terhadap peminatan ICD dan sebagai respon
sebagian ICD dimodifikasi dan sebagian ditambah kode khusus. Untuk memudahkan
pemakai ICD yang ingin menghasilkan statistik dan indeks yang berorientasi pada
perawatan kesehatan, maka revisi ke-Sembilan ini merupakan metode alternatif
pilihan untuk klasifikasi diagnosis, termasuk informasi tentang penyakit yang
mendasari dan manifestasi klinis pada organ-organ tertentu. Sistem ini dikenal
sebagai Sistem “Sangkur dan Bintang (Dagger & Asterisk)” yang masih
berlanjut di revisi ke-Sepuluh. World Health Assembly ke-29, dengan
memperhatikan rekomendasi Konferensi Internasional untuk Revisi ke-Sembilan
ICD, menyetujui publikasi dan klasifikasi tambahan untuk Ketidakmampuan dan
Kecacadan (Handicaps and Disability)
serta untuk Prosedur Medis sebagai supplemen dari ICD.
Sebagaimana
dinyatakan dalam manual instruksinya, pemanfaatan ICD-10 dimaksudkan untuk klasifikasi
satuan penyakit dan masalah kesehatan untuk keperluan eidemiologi dan manajemen
kesehatan. Jika digunakan untuk keperluan terkait aspek finansial, billing
ataupun alokasi sumber daya, memang terdapat keterbatasan. Dalam pembahasan
tentang koding morbiditas, dalam manual instruksi ICD-10 memang disebutkan
pemanfaatan data koding morbiditas untuk berbagai tujuan, diantaranya untuk
pembuatan program dan kebijakan kesehatan, manajemen kesehatan, termasuk monitoring dan evaluasi, dalam
epidemiologi, untuk identifikasi faktor risiko pada populasi, dan dalam riset
klinis (termasuk penyakit-penyakit yang muncul pada kelompok sosioekonomik yang
berbeda).
Namun tak
dapat dipungkiri bahwa pemanfaatan ICD-10 telah jauh berkembang di luar bidang
yang disebutkan di atas. Seiring dengan ditemukannya pola pembayaran berbasis case-mix, yang menggunakan kode ICD
sebagai data input, maka ICD saat ini
juga memegang peran penting dalam mekanisme pembayaran kembali (reimbursement) biaya pelayanan
kesehatan. Sebagaimana disampaikan oleh O’Malley dkk ; “Pemanfaatan ICD telah
meluas dari sekedar mengklasifikasi data morbiditas dan mortalitas untuk tujuan
statistik, menjadi berbagai aplikasi yang berbeda meliputi bidang reimbursement, administrasi,
epidemiologi dan riset pelayanan kesehatan.[1] Sejalan dengan pemanfaatan
ICD untuk keperluan reimbursement, tentunya terdapat hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam implementasi atau penggunaan kode ICD untuk tujuan reimbursement.
Menurut kamus, reimbursement dalam bidang kesehatan adalah pembayaran managed care dari pihak ketiga pembayar
seperti misalnya perusahaan asuransi, kepada rumah sakit, dokter atau pemberi
layanan kesehatan lainnya, untuk jasa pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
peserta asuransi (beneficiary).[2] Reimbursement ini dibayarkan berdasarkan klaim yang diajukan dan
dokumentasi yang disimpan oleh pihak pemberi layanan (provider).
Dalam bukunya yang berjudul A Guide to Coding Compliance, Becker mendefinisikan perbedaan
antara coding dan billing adalah pada proses dan tujuan
pembuatannya. The American Hospital
Association (AHA) mendefinisikan medical coding sebagai suatu
kegiatan menetapkan suatu kode terhadap diagnosis medis, prosedur dan operasi,
gejala dan tanda dari penyakit serta kondisi tak spesifik, keracunan dan efek
samping obat, serta komplikasi operasi maupun pengobatan.
Coding bermakna menterjemahkan
dokumentasi medis (terminologi dan frasa) ke dalam bentuk kode numerik atau
alfanumerik. Dokumentasi yang dimaksud bisa berupa kata atau frasa tunggal
hingga keseluruhan episode rawat inap pasien. Para koder mendeskripsikan koding
sebagai suatu art, mengingat koding
yang sukses membutuhkan interpretasi, aplikasi data dan fakta, analisis dan
beberapa ketrampilan lainnya. Koder harus memahami mekanisme dan pedoman koding
dari manual sistem klasifikasi yang mereka gunakan, berikut sejumlah regulasi
terkait koding. Adapun medical
billing membutuhkan proses transfer informasi yang dibutuhkan dari data
yang telah terkode ke dalam klaim untuk reimbursement.
Billing ini melibatkan kemampuan
mengelola dan mengajukan klaim, menyiapkan form asuransi, memproses pembayaran
dan menyelesaikan klaim-klaim yang ditolak. Seorang biller harus menguasai instruksi khusus dari pihak pembayar untuk
dapat memperoleh pembayaran klaim, termasuk isu tentang hal-hal apa yang
ditanggung oleh asuransi. [3]
Dan itulah sebabnya perlu dibedakan
antara koding untuk keperluan statistik yang digunakan dalam epidemiologi,
pengambilan keputusan program atau kebijakan kesehatan, riset dan manajemen,
dengan koding untuk keperluan pengajuan klaim dalam reimbursement. Hal ini bukan berarti bahwa proses koding dilakukan
dua kali dengan hasil yang berbeda, namun yang dimaksud adalah proses koding
dilakukan satu kali sesuai dengan kaidah koding yang berlaku dan sesuai dengan
sistem klasifikasi yang digunakan lalu data terkode ini digunakan untuk berbagai
keperluan yang berbeda, diantaranya untuk keperluan statistik dan reimbursement. Lebih tepatnya, mengacu
pada apa yang disampaikan oleh Becker dan O’Malley, proses koding dan billing ini dilakukan secara bertahap.
Pertama, data klinis dalam dokumen rekam medis dikode sesuai dengan pedoman dan
kaidah koding dalam sistem klasifikasi. Setelah itu, dalam proses billing, barulah data terkode tadi
dipilah untuk dimasukkan dalam form pengajuan klaim untuk keperluan reimbursement, sesuai dengan kaidah dan aturan reimbursement.
Oleh karena itu koder perlu untuk sungguh-sungguh memahami bahwa penetapan kode haruslah sesuai dengan kaidah koding yang diatur dalam sistem klasifikasi yang digunakan. Setelah itu, dalam proses billing untuk keperluan reimbursement, koder harus dapat memilah, mana kode-kode yang diajukan dalam sistem billing untuk memperoleh pembayaran yang layak sesuai dengan apa yang telah dikeluarkan oleh pihak RS. Adapun untuk keperluan statistik dan riset, koder umumnya harus menyimpan sebanyak mungkin informasi dalam bentuk kode, guna berbagai keperluan yang sekiranya diminta oleh berbagai pihak lain.
[1] O’Malley, Kimberly J. et.al. Measuring
Diagnosis : ICD Code Accuracy. Health Services Research. Oct 2005 : 40
(5Pt2)1620-1639
[2] McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine. ©
2002 by The McGraw-Hill Companies, Inc
[3] Joanna M.
Becker, et.al. A Guide to Coding Compliance.
Chapter 1 ; Coding and Billing, Differences and Similarities. Delmar Cengage Learning, NY, USA @ 2010.
0 komentar:
Posting Komentar